Minggu, 03 Juni 2012

Bung Karno Berguru di Pesantren Cianjur Selatan

Ketika Belanda bertekuk lutut dihadapan tentara Jepang, kemudian Jepang dikalahkan Sekutu, maka Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tetapi para penjajah yang bergabung dalam tentara Sekutu tidak rela negeri jajahan itu merdeka. Belanda yang masih babak belur belum berani muncul, maka  yang disuruh datang tentara bule dari Inggris yang tidak rela melihat Indonesia merdeka. Bahkan mau menangkap Soekarno Hatta sang Proklamator yang dianggapnya sebagai penajahat perang. Aneh bukan. Sejak dulu hingga sekarang mereka menamai sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri.
Melihat gelagat itu pemerintah Indonesia mempersiapkan beberapa kemungkinan. Saat tentara Inggris telah berdatangan di sekitar Jakarta yang hendak menangkap Soekarno–Hatta, keduanya segera mengungsi ke pedalaman. Anehnya Bung Karno tidak mengungsi di markas militer yang lengkap persenjaataannya, melainkan mengungsi ke pesantren Sukanegara di Cianjur. Rupanya sang Kiai pengasuh pesantren itu adalah teman lama Bung Karno, sehingga kehadirannya di sana di terima dengan tangan terbuka, tanpa sedikit rasa kaget, apalagi kehadirannya tanpa diiringi pengawal yang ketat, hanya diantar Hasjim Ning dan seorang ajudan.
Tampaknya dalam suasana revolusi, perlindungan rohani, dan penjagaan stamina perlu dipertahankan terutama spirit perlawanan jauh lebih diutamakan ketimbang sekadar persenjataan militer. Bagi Bung Karno revolusi tidak hanya revolusi fisik, tetapi revolusi sosial, revolusi ekonomi baru kemudia revolusi kebudayaan. dalam menjalankan program tersebut ia membutuhkan stamina yang kuat. Oleh karena itu support moral seorang ulama sangat diperlukan. Tak seorangpun tahu keberadaan Presidennya di pengungsian itu, para intelijen PID-nya Belanda tak tahu, tidak pula intelijen M-16 Inggris yang konon sangat jeli itu.
Seluruh kebutuhan hidup Presiden itu ditanggung oleh Kiai, dan itu tidak menyulitkan, sebab di sana semuanya tinggal mengambil sendiri di kebun, berbagai macam ikan, pete, bahkan jengkol  kesukaan Bung Karno tinggal ambil di sana. Selain itu di luar musimpun durian kesukaan Sang Proklamator itu bisa saja dicari di tanah itu, sehingga membuat Soekarno betah. Kesetiaan para santri serta masyarakat pada Ajeungannya itu membuat segala kebutuhan kiai untuk menjamu dan menjaga Presiden tidak pernah menjadi masalah.
Oleh karena itu ketika pengusaha Hasjim Ning hendak memberikan uang sumbangan untuk bekal Bung Karno selama dalam pengungsian itu dengan halus ditolak oleh Kiai, sebab kehadiran Soekarno semuanya ada dalam tanggungan Kiai. Lagi pula tidak ada satu kebutuhanpun yang harus dibeli, semuanya dicari dan dikasih oleh masyarakat. Kemudian Hasjim Ning memberikan uang tersebut pada isteri Sang Kiai, dengan mmengatakan bahwa uang ini tidak disumbangkan, hanya untuk jaga-jaga barang kali nanti dibutuhkan Bung Karno. Dengan alasan itu akhirnya uang  diterima Ibu Nyai, sebagai uang titipan bukan untuk digunakan sendiri.
Di tengah perkebunan teh yang sejuk tentu Bung Karno beserta keluarga tidak merasa bosan, apalagi setiap bisa digunakan untuk mendalami pengetahuan keagamaan sebab setiap saat bisa berdialog dengan Kiai yang memiliki pengetahuan mendalam, seorang rohaniawan yang sangat dihormati Bung Karno, sehingga di sana Bung Karno bisa mengisi kehausan spiritualnya di bawah bimbingan seprang ulama yang alim. Sementara sang ulama merasa sangat gembira, sebagaai seorang pelayan umat  bisa melindungi Presiden sang Proklamator yang sedang dalam kejaran penjajah, sehingga semuanya dijalankan dengan suka rela, tanpa pamrih apapun, disumbangpun tidak mau, sebab itu merasa sebagai kewajiaban ulama pada Negara. Karena itu dalam keadaan apapun ulama pesantren tidak mau memberontak baik melalui DI-TII maupu PRRI, sebab tindakan itu berarti mengkhianati perjuangan sendiri.
Ternyata ulama tidak hanya memberi support moral, tetapi juga memberikan dukungan secara fisik. Terbukti kiai Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya mampu menggerakkan para santri dan masyarakat sehingga  mampu mengalahkan pasukan Inggris di Surabaya pada tanggal 10 November 1946 yang bersejaraah itu. Menurut Pramoedya Ananta Toer itulah perang termegah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, bagaimana sekelompok santri dengan senjata seadanya mampu mengalahkan Negara pemenang Perang Dunia kedua yakni Inggris. Karena adanya semangat perlawanan membara dari kaum santri yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari melalui resolusi Jihadnya itu.
Tetapi sayang semuanya itu tidak  tercatat dalam sejarah Indonesia, peran kaum santri diabaikan, yang ada hanya peran tentara-tentara nasional, terutama  bekas prajurit KNIL yang selama ini turut menjajah rakyat Indonesia. (Sumber: http://rivafauziah.wordpress.com)

Rabu, 30 Mei 2012

Masjid Agung Cianjur

Mesjid Agung Cianjur yang megah terletak di pusat Kota Cianjur yang dibangun pertama kali tahun 1810 M. oleh penduduk Cianjur yang tidak tercatat namanya. Dibangun di atas tanah wakaf Ny. Raden Bodedar binti Kangjeng Dalem Sabiruddin, Bupati Cianjur ke -4.
Luas Mesjid semula 400 meter. yang berkembang menjadi 2500 meter dan mengalami beberapa perbaikan sampai terakhir yang sangat besar yang ketujuh kali dari tahun 1993 sampai tahun 2000 atau kurang lebih tujuh tahun dengan biaya sekitar Rp. 10 Miliar. Design dan stylasinya memadukan gaya dan ciri khas mesjid tempo dulu dengan gaya arsitektur modern dan dapat menampung sekitar 4000 jemaah. (cianjurkab)
Terbaik di Jabar Walaupun Masjid Agung Cianjur Dibangun Tahun 1810
BERDIRI kokoh dan megah. Setiap saat, apalagi setiap bulan suci Ramadhan sarat dengan berbagai kegiatan keagamaan yang diikuti umat Islam dalam meningkatkan amaliyah Ramadhan. Begitulah keberadaan Masjid Agung Cianjur, Jabar, yang berada di jantung kota.
Dari atas dua menara tinggi yang dimiliki masjid ini, dapat melihat pemandangan kota, yang nyaman tenteram, seiring dengan dilaksanakannya gerakan moral Gerbang Marhamah (Gerakan PembangunanMasyarakat Berakhlaqul Karimah), yang sudah berlangsung sekitar empat tahun lalu.
Masjid Agung Cianjur, pertama kali dibangun oleh masyarakat Cianjur tahun 1810 M (namun sayang nama-nama orang yang pertamakali membangunnya tidak tercatat-red). Semula ukurannya sangat kecil. Sekitar tahun 1820 M, pertamakali dilakukan perbaikan dan peluasan, sehingga ukurannya menjadi 20 x 20 M2 atau seluas 400 M2.
Perbaikan dan perluasan dilakukan oleh Penghulu Gede, Raden Muhammad Hoesein Bin Syekh Abdullah Rifai Penghulu Agung Pertama (I). Ibunya, NYR Mojanegara Binti Dalem Sabirudin. Beliau adalah cucu Dalem Sabirudin. Sedangkan Syekh Abdullah Rifai, ayah Muhammad Hoesein berdarah Arab dan Banten dari keturunan Bayu Suryaningrat.
Hingga sekarang Masjid Agung Cianjur, yang kepengurusan DKM (Dewan Kesejahteraan Masjid)-nya diketuai Drs HM Dudun Adullah SQ, sudah tujuh kali mengalami perbaikan. Perbaikan total yang menghabiskan biaya Rp7,5 M, pelaksanaannya mulai tanggal 2 Agustus 1993 s/d tanggal 1 Januari 1998 M, yaitu semasa Bupati Cianjur, Drs H Eddi Soekardi. Dilanjukan semasa Bupati Cianjur, Drs H Harkat Handiamihardja dan Bupati Cianjur, Ir H Wasidi Swastomo, MSi.
Masjid Agung yang berdiri di atas tanah wakaf Ny R Siti Bodedar itu, kini merupakan masjid tingkat kabupaten terbaik se-Jabar baik dalam pengelolaannya maupun kemegahannya. Tercatat pula banyak pejabat dan menteri yang pernah singgah dan sholat di masjid ini, diantaranya terakhir sebelum bulan suci Ramadhan, Menegpora (Menteri Negara Pemuda dan Olahraga) Adyaksa Dault, menjadi khatib Jum’at di masjid ini.
Letusan G Gede
Masjid Agung Cianjur pada peristiwa, meletusnya Gunung Gede tahun 1879 tak luput terkena letusan Gunung Gede, sehingga masjid ini rusak porak poranda. Bahkan pada saat itu, seorang ulama ikut gugur, yaitu RH Idris Bin RH Muhyi (ayahnya KRH Muhammad Nuh, seorang ulama besar Cianjur), yang waktu itu, bertempat tinggal di Kampung Kaum Kidul.
Tahun 1880 M, masjid ini dibangun kembali oleh RH Soelaeman, waktu itu beliau sebagai Penghulu Agung dan RH Ma’mun Bin RH Hoesein yang lebih dikenal dengan nama panggilan Juragan Guru Waas, yang dibantu oleh masyarakat Cianjur.
Masjid Agung mengalami perubahan bentuk dan dilakukan kembali perluasan bangunannya. Sehingga luasnya mencapai 1.030 M2. Tahun 1912, ketika masjid berusia 32 tahun kembali dilakukan perbaikan dan perluasan di antaranya oleh RH Moch Said Penghulu Agung Cianjur, Isa al-Cholid salah seorang guru thorekat, RH Tolhah Bin RH Ein al-Cholid dan H Akiya Bin Darham, penduduk Cianjur keturunan Kudus.
Untuk keempat kalinya tahun 195 kembali diperbaiki dan diperluas disesuaikan dengan suasana alam merdeka dengan menghabiskan biaya sebesar Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah). Biaya sebesar itu di antaranya diperoleh dari bantuan Kementerian Agama RI sebesar Rp8.000 (delapan ribu rupiah). Sisanya dari swadaya masyarakat dan kas hasil tanah wakaf.
Keberadaan Masjid Agung waktu itu, meskipun beberapa kali mengalami perbaikan sepanjang tahun 1950 hingga tahun 1974, bentuk arsitekturnya hampir tetap sama, yaitu bentuk atap segi empat. Di tengah-tengah bagian atas atapnya terdapat satu menara besar tunggal atau kubah yang dilapisi seng besi dengan cat putih. Di atas kubah terdapat lambang bulan sabit.
Dulu, Masjid Agung Cianjur terkenal dengan alunan suara adzannya yangs angat merdu di atas menara yang dikumandangkan, di antaranya oleh muadzim R Muslihat (alm) seorang pegawai bagian kemesjidan sebagai muadzim tetap Masjid Agung Cianjur, penduduk Jalan Bojongmeron, Warujajar, RH Duduh (Alm) Bagian Keuangan KUA Kabupaten Cianjur penduduk Jalan Oto Iskandardinata I Bojongherang, Buniwangi.
Sekali pun waktu itu, belum ada adzan langgam Surabaya atau Jogyakarta, apalagi Makkah di Masjid Agung Cianjur, ternyata alunan suara adzan muadzim pertama itu, sampai saat ini belum ada yang menandinginya. Bahkan sampai ada orang Banten yang ingin mendengarkan muadzim Masjid Agung Cianjur. Jika akan ke Bandung selalu menyempatkan diri ikut sholat berjamaah di Masjid Agung Cianjur seraya ingin mendengarkan suara adzan R Muslihat.
Waktu-waktu itu, yang menjadi imam di Masjid Agung di antaranya KRH. Ma’sum, KRH Alamah Abdullah Bin Nuh, KRH Abdullah, KH Sholeh all Madani, Al-ustadz RH Sabirudin, KRH Hidayat, RA Soleh. Sedangkan merbotnya, Pak Ita, Pak Owi, Pak Yusuf, Pal Husen. Dilanjutkan oleh Pak Jamhur, Pak Obe, RD Muhyidin, dan Mas Yono Sugyanto.
Masjid Agung Cianjur dalam perjalanannya yang hingga sekarang sudah tujuh kali mengalami perbaikan dan perluasan tentu saja dalam bentuk bangunan dan arsitekturnya sudah banyak berubah. Namun sarat dengan berbagai kegiatan keagamaan untuk tegaknya syiar Islam di daerah yang penduduknya mayoritas pemeluk Islam ini. (man suparman)
Masjid Agung Cianjur (radarsukabumi)
INFRASTRUKTUR Pemerintahan dan keagamaan sebagai penopang dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah erat dan tak bisa dipisahkan. Kultur tersebut menjadikan Cianjur hingga kini dikenal sebagai kota santri.
Masjid Agung Cianjur jadi saksi bagaimana perjalanan sejarah perkembangan agama dan pemerintahan mulai 12 Juli 1677 hingga 12 Juli 2009. Jika diruntut sejarah berdirinya Masjid Agung Cianjur sebagai syiar Islam dipelopori Ny Raden Bodedar Binti Kanjeng Dalem Sabirudin, yakni Bupati Cianjur keempat dengan gelar Raden Adipati Wiratanudatar IV  (Ragent 1727-1761). Dia telah mewakafkan tanah untuk Masjid Agung Cianjur dan alun-alun depan Masjid Agung.
“Dalam imarah masjid cukup banyak aktifitas dilaksanakan, jauh dari masa kemerdekaan RI sekitar tahun 1947 di masjid ini diadakan pengajian umum rutinan, tiap hari ahad pagi, mubaligh penceramah tunggal,” kata Pengurus DKM Mesjid Agung Cianjur ustd Adi Karyadi saat wartawan koran ini menemuinya di Sekretariat DKM Masjid Agung Cianjur di Jl Siti Bodedar No 96 Cianjur beberapa waktu lalu.
Adapun kiai yang pernah mengisi ceramah sebelum masa kemerdekaan, yakni KH Syatibi Gentur Warungkondang, KHR Muhammad Nuh Kaum Kidul Cianjur, KRH Isa Al-Kholidi Gedong Asem Cianjur guru Thoreqat, KHR Marjuki Bojongherang, kakeknya KHR Abdul Halim Ketua MUI Cianjur sekarang, KH Musthofa (Mama Kandang Sapi Karangtengah) KHR Turo Sindanglaka Karangtengah.
Selanjutnya, ulama-ulama Cianjur setelah kemerdekaan, KH Mustofa Maleber Karangtengah, KHR Sudja’i Ciharashas Cilaku, KH Abdul Qodir Gentur Warungkondang, K Mualmi Z Irigasi Cibeber Ketua MUI Cianjur sebelum dan sesudah orde baru, KH Zein Abdul Somad (Mama Gelar) dan KRH Soleh A Pasarean Cianjur serta lainnya.
Sedangkan kini pengajian imaroh di Masjid Agung Cianjur, dari mulai kuliah subuh, pengajian umum hari Ahad dan Rabu mubaligh bergiliran, pengajian anak-anak tiap malam ba’da  magrib oleh tenaga khusus, pengajian khusus remaja, pengajian hari jumat sebelum dan sesudah jumat dan pengajian kitab Ihya untuk para kiaya dan umum setiap selasa pagi oleh sesepuh KHR Abdul Kodir Rozi atau Ust Koko.
“Kini melalui penyebaran agama Islam dengan metode da’wah, sehingga para alumni santri di Masjid Agung, telah menyebarkan agama Islam di mana-mana, baik di Cianjur hingga ke nusantara,” ujarnya.

Selasa, 03 Januari 2012

Sejarah Cianjur

Sejarah Kabupaten Cianjur sangat sedikit diketahui, akan tetapi menurut cerita-cerita dari orang tua, daerah Kabupaten Cianjur dahulunya adalah termasuk kedalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kepercayaan masyarakat Cianjur yang sama dengan masyarakat pada jaman kerajaan pajajaran yang banyak mengenal kebudayaan hindu.
Asal usul Kabupaten Cianjur diketahui setelah masuk pengaruh Islam ke Cianjur dari Kesultanan Banten kira-kira abad XV. Bupati pertama Cianjur bernama Wiratanu I yang memerintah kira-kira abad XVII berpusat di Cikidul-Cikalong Kulon 20km sebelah utara Kabupaten Cianjur sekarang. Kemudian dipindahkan oleh Bupati Wiratanu II ke tepi sungai dan jalan raya yang telah dibuat oleh Daendels antara Anyer – Panarukan yaitu Kota Cianjur sekarang.
Kota Cianjur menjadi Kota Keresidenan Priangan pada masa Raden Kusumah Diningrat dengan wilayah meliputi Pelabuhan Ratu sebelah barat, Sungai Citanduy dengan barisan Gunung Halimun, Mega Mendung, Tangkuban Perahu sebelah timur, dan Samudra Indonesia sebelah selatan.
Kemudian pada masa Bupati R.A.A Prawiradiredja wilayah Cianjur mengalami perubahan menjadi Cikole sebelah barat, Sukabumi sekarang, Bandung dan Tasikmalaya dengan Ibukota Keresidenan dipindahkan ke Bandung.
Perkebunan karet dan teh merupakan akibat dari sistem tanam paksa (cultur stelsel).
Perkebunan tersebut merupakan tempat hiburan akhir pekan bagi asisten residen dan orang-orang belanda yang tinggal di Cianjur dan cenderung membuat rumah didaerah Cipanas-Puncak.
GEOGRAFIS
Secara Geografis, Kabupaten Cianjur terletak pada 106. 25o -107. 25o Bujur Timur dan 6.21o – 7.32o Lintang Selatan dengan batas-batas administratif :
·         Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta.
·         Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi.
·         Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
·         Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Luas wilayah Kabupaten Cianjur +/- 3.501,48 km2 terbagi dengan ciri topografi sebagian besar berupa daerah pegunungan, berbukit-bukit dan sebagian merupakan dataran rendah, dengan ketinggian 0 s/d 2.962 meter diatas permukaan laut (Puncak Gunung Gede) dengan kemiringan antara 1% s/d 15%. (Sumber: http://rivafauziah.wordpress.com)

Sabtu, 24 Juli 2010

Urgensi Aqidah Islam

Kita tidak dapat mengklaim bahwa kita sudah memenuhi kalimat“tiada Ilah selain Allah” artinya kita sudah berAqidah benar, terhindar dari kemusyrikan dalam beribadah, dan semua pengadilan kita sudah menerapkan syariat Allah – bila kita masih saja terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, peradaban, moral, sosial dan pemikiran.Kemudian kita diam berpangku tangan dan tidak berusaha mengubah keadaan. Kalimat “tiada Tuhan selain Allah” menyuruh kita melepaskan semua belenggu itu. Berbagai arahan Allah dan Rasul-Nya dalam masalah ini cukup jelas dan harus ditaati umat Islam, baik secara individu maupun kelompok (Muhammad Quthb)
Seringkali ketika membicarakan kemurnian dan urgensi makna Aqidah, kita hanya akan menariknya pada satu kutub: penyucian jiwa dan porsinya lebih besar pada aspek ruhiyah dan ibadah mahdhahPenulis pun awalnya diminta untuk mengisi tema ini dengan suasana “ngeruhiy banget.”
Tidak sepenuhnya salah memang, namun untuk memurnikan (ta’shil) berarti kita harus mengembalikan sesuatu pada asalnya, membuka kembali apa yang menutupinya, dan membersihkan dari segala sesuatu yang menodainya. Nah, bila Aqidah hanya dipahami semata-mata sebagai aspek penyucian jiwa pribadi yang tidak terimplementasi dalam aspek kehidupan lain, maka yang terjadi bukan pemurnian, melainkan degradasi dan penyempitan makna.
Bayangkan, bagaimana pandangan Anda terhadap seorang muslim yang sangat ketat perhatiannya terhadap shalat di awal waktu sementara di aspek lain tugas-tugas kerjanya diselesaikan melebihi batas waktu? Bagaimana pandangan Anda terhadap seorang muslim yang sangat ketat perhatiannya terhadap dzikir dan doa sementara malas dalam bekerja? Bagaimana pula dengan seorang muslim yang bertahun-tahun membaca kitab akhlak sementara hubungan sosialnya sangat kaku dan cenderung keras? Apakah itu makna kemurnian Aqidah?
Atau dalam level kolektif, bagaimana pandangan Anda terhadap negara kita yang menjadi salah satu penyumbang jamaah ibadah haji terbesar, sementara di satu sisi juga menjadi negara terkorup? Bagaimana pula pandangan Anda terhadap dunia Islam secara umum yang memiliki doktrin “al-islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya), namun masih tertinggal? Bahkan di beberapa belahan dunia diinjak-injak dan dipermainkan tanpa punya kekuatan untuk sekedar mengangat muka di hadapan negara lain. Apakah sekedar itu makna Aqidah?
Oleh karena itu Muhammad Quthb dalam pernyataannya di atas hendak membuka kembali tabir makna Aqidah yang telah disempitkan dalam bilik-bilik ruhani yang sebenarnya kosong dan gersang dalam implementasi (jafaaf ruuhi). Sebagaimana seorang Jamaluddin al-Afghani pernah menyindir kita saat melancong ke negara yang nonmuslimnya mayoritas, “Saya melihat Islam di sini walaupun tidak melihat banyak orang Islam. Sementara di negara mayoritas muslim, saya lihat banyak orang Islam tapi tidak melihat Islam.
Artinya, selama ini Aqidah kita miskin implementasi dan diterapkan secara parsial. Padahal, ia seharusnya bukan hanya mencakup masalahruhiyah, tapi juga manhajiyahfikriyah bahkan implementasi jasadiyah. Aqidah kita, yang secara ringkas terangkum dalam dua kalimat syahadat, belum mampu menjadi asasul inqilab (dasar-dasar perubahan) yang signifikan dalam kehidupan dari level individu hingga umat. Padahal, inilah urgensi terbesar dari kekuatan Aqidah. Itu pula yang dahulu mengubah tatanan sosial masyarakat Islam secara revolusioner dan progresif tanpa melupakan masalah kekhusyukan ruhani.
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (Al-An’am: 112)
Bukankah sirah Rasul sudah sering kita dengar? Shalatnya yang khusyuk dan panjang, tidak bertolak belakang dengan penunaian amanat dunianya. Ia adalah orang yang sangat menghargai waktu dan menepati janji. Bekerja ihsan, seakan-akan melihat Allah dan dalam pengawasan-Nya. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Memperhatikan ilmu dan pengembangan ekonomi umat. Doa dan dzikirnya tidak mengurangi kerja-kerja taktisnya. Kelembutan tidak mengurangi heroismenya di medan laga, puluhan perang telah dilalui dalam usianya yang di atas 40 tahun.
Dr. Yusuf Qardhawi menulis dalam buku al-Iman wal Hayat, “Pengaruh iman bagi pembaharuan jiwa sesungguhnya tidak diragukan lagi. Berbagai kejadian cukup menjadi saksi. Ahli-ahli sejarah kagum melihat perubahan besar yang dialami bangsa Arab sesudah mereka disinari cahaya iman. Dari suku-suku berpecah belah menjadi umat yang bersatu. Dari lemah menjadi kuat. Dari penggembala binatang ternak, menjadi bangsa-bangsa dan pembentuk kebudayaan baru. Perubahan yang luar biasa ini terjadi dalam masa singkat. Bukan berpuluh tahun dan bukan berpuluh abad, melainkan dalam masa yang tidak lebih dari 23 tahun. Perubahan ini adalah karena pengaruh iman, yang ditanamkan oleh Nabi Besar Muhammad Saw dalam jiwa sahabat dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpindah dari masa jahiliyah ke zaman Islam. Dari memuja berhala kepada menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Dari suku-suku bangsa yang terpencil menjadi umat yang menulis sejarah baru dengan tinta keemasan.”
Jadi seharusnya, iman itu berdampak bukan hanya ketenangan jiwa, tapi terasa dan terlihat dalam kehidupan sosial, bahkan yang sifatnya kerja-kerja duniawi. Di antaranya, Yusuf Qardhawi menulis bahwa Aqidah, iman, dan tauhid itu bisa memperbesar prestasi kerja, di antara indikatornya meningkatkan produksi, mengerjakan sesuatu dengan ihsan, menghargai waktu, produktifitas tinggi tanpa alasan terhambat ibadah, dan mampu memakmurkan bumi dengan kerja-kerja kita.
Muhammad Quthb juga menulis bahwa sebenarnya Aqidah, kalimat “la ilaha illaLlah,” mengandung tuntutan-tuntutan yang sebenarnya telah ditunjukkan dalam sirah. Tuntutan itu mulai dari yang mahdhah sampaighairu mahdhah. Dari tuntutan keimanan, penyembahan, legislasi, moral, pemikiran, peradaban, bahkan sampai ekpresi seni.
Lalu mengapa kita sering terjebak pada penyempitan makna Aqidah? Muhammad Quthb memaparkan beberapa faktor utamanya dalam buku Laa Ilaha IllaLlah: sebagai Aqidah Syariah dan Sistem Kehidupan. Pertama, pandangan yang hanya menganggap bahwa iman terbatas hanya pada pembenaran hati yang dikukuhkan lisan, sementara amal sering diabaikan dalam cakupan iman. Kedua, perilaku sufisme yang fatalistik, menafikkan bahwa Islam merupakan agama amal dan perjuangan dalamkehidupan nyata, agama jihad dan pengorbanan untuk menegakkan sistem Rabbani dalam dunia nyata. Ketiga, invasi pemikiran yang dilakukan pihak eksternal yang khawatir bila Islam akan kembali bangkit jika Aqidah umatnya terimplementasi sempurna.
Oleh karenanya, Muhammad Quthb menegaskan bahwa kebangkitan Islam dituntut untuk menghidupkan kembali vitalitas dan efektifitas kalimat “tiada Tuhan selain Allah” seperti dulu, di samping juga membersihkan noda-noda yang mengotori kalimat syahadat ini selama berabad-abad lalu… Dulu kalimat ini berdampak nyata dalam kehidupan umat Islam dan menjadi pelita yang menerangi seluruh umat manusia, sehingga mereka keluar dari kegelapannya, bahkan orang-orang yang belum masuk ke dalam Islam banyak mengambil manfaat darinya… Kalimat syahadat ini terpelihara dalam Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Saw. karena memang Allah yang bertanggung jawab memeliharanya. Tugas kita adalah membukakan pintu hati kita terhadap kalimat itu dan memenuhi segala tuntutannya. WaLlahu a’lam. (Sumber: http://www.bungsucikal.com)

Rabu, 24 September 2008

Imam Salat dan Pemimpin


Imam shalat adalah sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia dan memiliki tanggung jawab yang sanggat besar. Tidak setiap orang dapat menjadi imam dalam shalat karena harus memiliki kompetensi tertentu yang sudah menjadi konsesus ulama fiqih. Oleh karena itu, orang yang menjadi imam adalah orang yang terbaik diantara yang lainnya bukan berdasarkan lamanya hidup didunia tetapi kualitas individu yang dimiliki yang menyebabkan seseorang bisa menjadi seorang imam. Begitupun dengan seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang lebih dari yang lain, sehingga bisa membuat visi dan misi yang bisa dilaksanakan oleh para pembantu serta kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh pembantunya. Dan hasilnya kemajuan atau kesejahtraan yang dicita-citakan akan dapat tercapai.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika seorang imam dan pemimpin dipilih bukan berdasarkan kompetensi yang ditetapkan tapi berdasarkan kekayaan dan kekuatan uang atau besarnya uang yang diberikan kepada masyarakat. Maka kemajuan yang diharapkan sulit karena pemimpin yang dipilih tidak memiliki keahlian dibidangnya, begitupun dengan seorang imam shalat bukan tidak mungkin akan menyebabkan tidak sahnya proses ibadah (shalat) karena kesalahan yang dilakukan atau diperbuat sang imam.
Kekeliruan Imam dan Pemimpin
Berbicara kekeliruan setiap orang meski pernah mengalami namun jangan sampai diulangi kembali, agar kredibelitas tidak tereduksi karena sering berbuat yang tidak sesuai dengan aturan janji yang disampaikan. Hal yang patut menjadi teladan dalam proses melaksanakan shalat berjamaah untuk seorang pemimpin atau pejabat publik. Ketika seorang dipilih menjadi seorang imam shalat maka semua mematuhi gerakan dan arahan dari imam tidak boleh ada yang membantah bahkan memprotes, selama semua itu dalam koridor aturan agama dan tidak melakukan kesalahan yang fatal.
Namun ketika imam melakukan kesalahan atau keluar dari koridor yang telah ditentukan imam harus dan akan diingatkan oleh makmun (umat)yang ada dibelakangnya. Dan hal ini dilakukan agar proses ibadah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ibadah yang dilakukan tidak sia-sia. Yang menjadi imam ketika diingatkan tidak boleh dan tidak akan marah namun menyadari kesalahan dan memperbaiki kesalahannya.
Kita bandingkan dengan pemimpin yang ada di Negeri ini apakah seperti imam dalam shalat atau sebaliknya. Ketika masyarakat mengingatkan kesalahan pemimpinnya justru pimpinan kita membela diri dan balik mengkritik, bukan menyadari dan berterima kasih telah diingatkan. Sejatinya masyarakat itu mencintai pemimpinnya dan untuk kebaikan seluruh yang dipimpinnya. Namun gengsi dan arogansi telah mengalahkan filosofi shalat dalam proses kepemimpinan seseorang. Ini fakta bahwa shalat yang dilakukan hanya sebatas pada proses ritual semata belum pada tataran aplikasi nyata dan diterapkan dalam kehidupan sosial.
Metode Mengingatkan
Dalam shalat ada metode mengingatkan seorang imam apabila melakukan kekeliruan dan dengan maksud bukan untuk menjatuhkan atau menghinakan imam. Sebaliknya seorang imam justru harus peka terhadap kesalahan yang dilakukannya dan kembali kepada jalan yang benar. Ketika seorang imam membaca keliru satu ayat saja dalam bacaan shalatnya maka dengan cepat orang yang berada dibelakang mengingatkan, jadi orang yang ada di belakang imam atau wakil imam harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi untuk menjadi seorang imam. Dan ketika keliru dalam gerakan shalat maka makmum yang berada dibelakang harus mengingatkan dengan membaca bacaan yang sudah ditentukan yaitu subhanallah  dan imam harus menyadari kekeliruannya dan kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Begitu indanya kebersamaan dalam shalat ada proses kebersamaan dan saling mengingatkan antara pimpinan dan orang yang dipimpin.
Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka filosofi dalam shalat berjamaah ini dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan bernegara dan dijadikan acuan oleh seorang pemimpin. Dengan melihat metode mengingatkan dalam shalat maka dapat takwilkan atau diqiyaskan ketika seorang pemimpin keluar dari aturan yang sebenarnya maka seorang wakil harus selalu mengingatkan agar kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Hal ini semata-mata dilakukan dengan ikhlas dengan tujuan untuk seluruh orang yang dipimpin. Maka ketika proses mengingatkan tersebut tidak boleh ada tendensi apapun, namun murni untuk perbaikan dan kebaikan bersama. Sebaliknya seorang pemimpin harus menyadari itu dan jangan arogan merasa orang yang paling benar sendiri.
Imam dan Ketegasan Pemimpin
Seorang imam shalat memiliki ketegasan dalam membawa jamaahnya dan telah memiliki idikator yang sangat jelas dan memiliki batasan yang jelas. Jadi semua makmum yang mengikutinya merasa yakin dan percaya apa yang dilakukan oleh imamnya. Maka dari itu seorang imam tidak boleh was-wasatau ragu-ragu, seorang imam harus memiliki keyakinan yang nyata dan ketegasan sehingga makmum menjadi percaya kepada imam dan ibadah yang dilaksanakan sah dan benar.
Ini berlaku bagi seorang pemimpin yang harus memiliki ketegasan dalam memimpin bangsa agar rakyat yang dipimpinnya memiliki keyakinan bangsa ini akan maju. Namun akan menjadi sebaliknya apabila pemimpin peragu maka rakyat yang dipimpinnya akan kurang yakin dengan kemampuan yang sesungguhnya. Perlu diingat seorang pemimipin juga harus memiliki indikator yang jelas dalam mencapai program-programnya supaya masyarakatnya bisa mengevaluasi dan mengawasi. Dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh para pembantu pemimpin dapat diminimalisir mungkin. Tulisan ini bukan untuk mencari kesalahan seorang pemimpin ataupun yang lainnya hanya kita dapat mengambil pelajaran dari proses Ibadah Shalat yang selalu kita lakukan.
Shalat yang selama ini kita lakukan hendaknya dapat kita ejawantahkan dalam prilaku sosial sehingga fungsi shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar dapat direalisasikan. Sejatinya juga perintah shalat dalam al-Qur’an dengan jelas yaitu disuruh menegakan shalat, hal ini kalau kita maknai secara mendalam adalah bukan hanya dilakukan tapi dapat difahami filosofi dari nilai-nilai shalat tersebut. Yang pada akhirnya segala apa yang dilakukan dalam shalat dapat dimanifestasikan dalam kehidupan yang nyata. Maka kalau sudah memahami nilai-nilai shalat dan dapat dilaksanakan dengan baik bukan tidak mungkin fungsi shalat seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dapat terwujud.
Ketika semua itu terwujud maka segala bentuk ketidakjujuran yang menggerogoti kepercayaan bangsa ini terhadap pemimpinnya akan hilang dengan sendirinya. Disinilah sesungguhnya fungsi agama dalam kehidupan nyata, sehingga agama tidak difahami hanya sebatas ritual semata tetapi dapat diejawantakan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya dapat menjadi kontrol kehidupan sosial masyarakat kita.
Negara baldatun toyibatun warrofun ghofur tidak hanya sebatas selogan tapi dapat diwujudkan dengan nyata. Untuk mencapai hal tersebut perlu adanya keterlibatan seluruh steakholder masyarakat sehingga menjadigerakan sosial yang massif, dan dapat merubah kehidupan kebangsaan kearah yang lebih baik. Kita masih memiliki harapan terhadap bangsa ini untuk menjadi bangsa yang kuat dan disegani. Tidak perlu adanya formalisasi aturan agama dalam kehidupan bernegara tapi cukup mengamalkan filosfi shalat itu sendiri yang ada akan dengan baik dan tidak adanya pemakasaan terhadap umat Islam. Semoga bangsa ini bisa menjadi lebih baik serta terbebas dari korupsi dan kebohongan yang terus dilakukan oleh seluruh rakyat dan pimpinannya.

Rabu, 26 Desember 2007

Para Pendiri IKBA

TENTANG IKBA
A. Inisiator IKBA: 
1. Rudi Rustiadi, 
2. Hendi, 
3. Miftahul Palah,
4. Abdullah dan 
5. Rina Nurhayati
B. Pencetus Logo: Rudi Rustiadi
C. Pemberi Nama : Abdullah
D. Tim Persiapan Pendirian:
1. Rudi Rustiadi,
2. Abdullah,
3. Ahmad Syahid
E. Tim Pendiri IKBA:
1. Arif Ruskandi (perkwakilan 1996)
2. Yandi (Perkwakilan 1997)
3. Nahrudin (Perkwakilan 1998)
4. Rudi Rustiadi (perwakilan 1999)
5. Hendi (Perwakilan 2000)
6. Taufik Hidayat (Perwakilan 2001)
7. Abdullah (Perwakilan 2002)
8. Rina Nurhayati (Perwakilan 2003)
9. sampai perwakilan 2008
IKBA berdiri pada tanggal 26 Desember 2007.
Terima Kasih.
RSS FeedRSS

 
Sekretariat : Jl. Waspada Desa Pada Mulya Kecamatan Pasirkuda-Cianjur